Balikpapan – Sebuah penelitian terbaru dari tim dosen Institut Teknologi Kalimantan (ITK) mengungkapkan bahwa proses perebusan kedelai dalam pembuatan tempe merupakan sumber dampak lingkungan terbesar di Sentra Industri Kecil Somber (SIKS), Balikpapan Barat. Studi yang dilakukan oleh Faishal Arham Pratikno, Muqimuddin, dan Ahmad Jamil ini menggunakan metode Life Cycle Assessment (LCA) dan Fuzzy Failure Mode and Effect Analysis (Fuzzy FMEA) untuk mengukur serta mengidentifikasi penyebab utama tekanan lingkungan dari industri tempe.

Produksi tempe diketahui berlangsung setiap hari dengan kebutuhan kedelai mencapai 100 kilogram per proses, disertai penggunaan air hingga 905 liter pada tahap pencucian. Aktivitas intensif ini membuat proses produksi tempe menjadi salah satu sektor industri skala kecil yang menyumbang dampak lingkungan cukup signifikan. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi titik kritis dari seluruh tahapan produksi, mulai dari pencucian, perebusan, perendaman, penggilingan, pencucian kedua, peragian, hingga pembungkusan.
Melalui analisis LCA menggunakan perangkat lunak SimaPro, diketahui bahwa perebusan kedelai memberikan kontribusi dampak terbesar pada tiga kategori penilaian, yaitu human health, ecosystem, dan resources. Penggunaan kayu bakar sebagai sumber energi menjadi penyebab utama tingginya emisi CO₂, CH₄, dan N₂O. Berdasarkan perhitungan, pembakaran 35 kilogram kayu per hari menghasilkan 61,15 kg CO₂, 16,38 kg CH₄, dan 2,18 kg N₂O—angka yang jauh lebih besar dibandingkan proses lainnya.

Selain itu, penggunaan air yang tinggi, limbah cair tanpa pengolahan, serta alat bantu seperti wadah plastik yang telah mengalami degradasi turut memberikan tekanan pada ekosistem dan potensi risiko kesehatan. Pada tahap Fuzzy FMEA, penyebab terbesar dari risiko lingkungan juga jatuh pada penggunaan kayu bakar pada proses perebusan, dengan skor risiko tertinggi (FRPN = 6,1), sehingga menjadi prioritas usulan perbaikan.

Sebagai solusi, tim peneliti mengusulkan penggantian bahan bakar kayu dengan Liquified Petroleum Gas (LPG). Setelah dilakukan simulasi ulang menggunakan LCA, dampak total proses perebusan turun drastis dari 51,5 poin menjadi hanya 4,44 poin—penurunan lebih dari 90 persen. Emisi CO₂ yang semula mencapai 61,15 kg/hari turun menjadi 17,91 kg/hari setelah penggunaan LPG. Implementasi penggantian bahan bakar ini dilakukan langsung di salah satu IKM tempe SIKS pada 17 Mei 2025.
Meskipun proses perebusan mengalami penurunan dampak signifikan, penelitian juga menemukan bahwa proses pencucian kedelai masih memiliki dampak cukup besar apabila tidak dilakukan pengendalian air yang lebih efisien serta pengolahan limbah. Tim peneliti menyarankan perlunya standar operasional terkait efisiensi penggunaan air, penggunaan alat bantu berbahan aman, serta peningkatan sistem pengolahan limbah sederhana bagi IKM.
Penelitian ini menjadi langkah awal dari peta jalan riset empat tahun ke depan yang disusun tim ITK. Pada tahun-tahun berikutnya, penelitian akan berlanjut dengan pendekatan Lean Green Manufacturing, pemanfaatan teknologi IoT untuk pemantauan real-time, hingga pengembangan model prediksi berbasis machine learning untuk membantu UMKM tempe mengurangi dampak lingkungan secara berkelanjutan.
Luaran penelitian ini diharapkan menjadi dasar perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan industri kecil, khususnya di sektor pangan lokal, serta mendorong pelaku IKM untuk menerapkan praktik produksi yang lebih ramah lingkungan tanpa mengganggu produktivitas maupun kualitas tempe sebagai pangan unggulan nasional.
Anggota :
1. Muqimuddin
2. Ahmad Jamil
Luaran penelitian ini diharapkan menjadi dasar perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan industri kecil, khususnya di sektor pangan lokal, serta mendorong pelaku IKM untuk menerapkan praktik produksi yang lebih ramah lingkungan tanpa mengganggu produktivitas maupun kualitas tempe sebagai pangan unggulan nasional.